Kisah Kami
Headlines News :

Latest Post

INIKAH RASANYA KKN..???

Written By Fahrizal Syam on Rabu, 11 Juli 2012 | 23.35

Buat kalian para mahasiswa Universitas, pastinya sering merasa jenuh dengan aktifitas perkuliahan. Bosan duduk di dalam kelas yang begitu sesak dan panas. Mengantuk ketika  dosen sedang sibuk-sibuknya berceloteh memberikan mata kuliah, dan yang paling menjengkelkan ketika dosen terus menerus memberikan tugas kepada kita. Meskipun menurut mereka tugas itu sangat penting tetapi tetap saja itu hanya menjadi beban bagi beberapa mahasiswa. Termasuk aku tentunya.. heheh

“TENWURUK” Masih ada, Sejak sebelas abad yang lalu

Written By sahrul alim on Sabtu, 16 Juni 2012 | 21.50

Oleh: Asykur Anam

Tenwuruk yang berarti tidak ditimbun, itulah prosesi  penguburan khas ala desa trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Penguburan di desa ini berbeda dengan desa–desa di bali pada umumnya, yang melakukan penguburan dengan cara ditimbun tanah sebelum diaben (pembakaran mayat).


Namun, di desa ini penguburan dilakukan hanya dengan meletakkan mayat yang sudah dikafani (mayat dibalut kain kafan dan hanya diperlihatkan kepalanya)namun tidak menimbulkan bau karena diletakkan  disamping pohon taru menyan ( kayu wangi ) yang hanya dipagari bambu. Ini dilakukan sebelum mayat tersebut diaben.

Dalam tradisi masyarakat trunyan pengabenan dilakukan tiga, Sembilan, duabelas hingga limabelas tahun sekali . Jika mayat yang di tenwuruk sudah berbentuk tengkorak maka akan dipindah ke tempat khusus menaruh tengkorak dan tulang –  tulang lainnya.Tidak sembarang orang yang dimakam di kuburan yang maksimal ditempati sebelas mayat ini.

Hanya warga asli trunyan seperti:  kepala desa adat, penghulu,  pemangku , dan orang dewasa yang meninggal secara wajar. Sedangkan untuk bayi dan orang meninggal tidak wajar (kecelakaan, bunuh diri) makamnya dipisah. Bahkan makam antara kepala desa adat, pemangku, penghulu,  dipisah dengan warga biasa dan dipayungi dengan kain putih, sedangkan untuk warga biasa hanya digeletakkan saja dandipagari bambu.  Di bali sendiri hanya trunyan yang memiliki cara penguburan yang sudah berumur sebelas abad-an ini.

Diletakkan, tengkorak diletakkan di atas batu sebelum diaben.
Foto: Asykur Anam


Makam di desa trunyan yang ditempati maksimal sebelas mayat
Foto: Asykur Anam


Kayu taru menyan, yang diyakini dapat menghilangkan bau busukyang ditimbukan mayat
Foto: Asykur Anam

Mengintip Keindahan Mesjid Raya Kota Medan

Written By sahrul alim on Rabu, 13 Juni 2012 | 06.43


Oleh : Astuni Rahayu*

Mesjid peninggalan kerajaan Deli itu masih terlihat berdiri tegap di tepi jalan Brigjend katamso, Sumatera Utara, Kota Medan. Dari kejauhan terlihat sebuah kubah menjulang ke langit. Apabila dilihat dari depan mesjid, terlihat seperti gedung kerajaan  zaman dulu kala. Mesjid itu bernama Mesjid Raya Al-Maishun. Mesjid ini merupakan salah satu bangunan bersejarah peninggalan kerajaan Deli dan hingga sekarang masih dipergunakan oleh masyarakat setempat maupun wisatawan. Bangunan mesjid Al-Maishun ini terbuat dari corak Arab-Eropa, yang dibangun semasa raja Maimun. Orang sekitar menyebut mesjid raya kota Medan ini, mesjid Maimun, walaupun sebenarnya mesjid raya ini bernama Al-Maishun.
Foto: Astuni Rahayu
Desain bangunan  mesjid Al-Maishun merupakan buatan arsitek orang Belanda. Atap dan mimbar kubahnya dibuat dari tembaga, sedangkan kaca mesjid ini berasal dari perancis, dan kubah yang berada di tengahnya melambangkan kebesaraan Allah, sesuai dengan kepercayaan orang muslim. Mesjid Al-Maishun berdiri sejak 1906. Yang pertama kali dibangun oleh Sultan Deli Maimun sebagai raja pada masa itu. Setelah berdirinya mesjid Al-Mashun ini maka kerajaan menggunakannya secara khusus selama tiga tahun, mulai tahun 1909 baru dibuka untuk umum.

Selain bangunannya mewah, ternyata mesjid ini juga memiliki majelis taklib yang setia untuk mengelolanya. Bahkan sebagian dari mereka rela untuk tinggal disana. Majelis taklib beranggota sekitar 30 orang, ada yang berasal dari Medan dan ada juga pendatang. Kegiatan yang dilakukan oleh majelis taklib bermacam-macam, salah satunya adalah menyampaikan syariat agama Islam kepada umat muslim. Selain itu mereka juga membimbing anak-anak yang masih usia dini untuk belajar agama Islam. Peraturan pun juga diterapkan di Mesjid ini, bagi anak-anak yang berusia 5-10 tahun diwajibkan untuk menghapal hadist sebanyak 100 hadist dan ayat-ayat pendek. 

Mesjid yang berlantai satu ini memiliki fungsi yang bermacam-macam. Abdurrahman bin Auf salah satu majelis yang tinggal disana menuturkan, mesjid ini selain digunakan untuk tempat beribadah juga acap kali digunakan sebagai tempat pengajian, dan tempat  berdiskusi yang biasa disebut taklib dan walatablun atau biasa dikenal pengajian tentang shalat, puasa, kewajiban orang muslim. Pengajian biasanya dilakukan pada pagi hari.

Abdurrahman  juga mengaku mesjid ini telah ia tempati selama 5 tahun. Selama ia berada dimesjid ini belum pernah mengalami renovasi, kecuali proses pengecatan “Mesjid Al-Maishun ini utuh seperti sedia kala, tanpa ada perubahan sama sekali” ungkapnya, Jum’at (25/5).

Laki-laki yang berumur sekitar 30 tahun ini menambahkan, kalau mesjid raya Al-Maishun ini merupakan aset wisatawan kota Medan yang memicu pengunjung untuk singgah, baik itu untuk mencuci mata, berpoto dan untuk beribadah. Ia berharap kedepannya mesjid Al-Maishun ini lebih dipelihara dengan baik dan mendapatkan perhatian dari pemerintahan maupun masyarakat setempat. Mesjid Al-Maishun bukan hanya digunakan masyarakat Medan sekitar saja melainkan juga digunakan oleh orang-orang pendatang baik itu dari warga lokal maupun manca negara. Sebab itu Mesjid Al-Maishun adalah salah satu kebanggaan Indonesia. “Karena setiap sudut dari bangunan ini memiliki nilai seni sejarah dan budaya yang sangat besar, tegas Abdurrahman, Jum’at (25/5).

Walaupun mesjid ini memiliki daya tarik yang besar terhadap pengunjung, namun mesjid ini belum mendapatkan sepenuhnya perhatian dari pemerintah maupun masyarakat setempat. Ini terbukti dengan adanya rumput-rumput yang menjalar tinggi disekitar mesjid Al-Maishun dan terdapat pentilasi udara dimesjid yang terlihat sudah rusak. “Terjaganya keindahan mesjid Raya adalah salah satu tanggung jawab pemerintah kota Medan, apabila diperhatikan InsyaAllah keindahan dan pesona Mesjid Al-Maishun terlihat menakjubkan. Namun hingga sekarang belum sepenuhnya dapat perhatian dari pemerintah maupun pihak bewajib,” katanya, Jum’at (25/5).(*)

“PETA KEHIDUPAN”

Written By sahrul alim on Sabtu, 09 Juni 2012 | 01.25

Oleh: Utami Fadilah/ LPM Kreatif Unimed*

Hiruk pikuk suara klakson mobil dan kereta (sebutan motor untuk orang medan) mengawali perjalanan kami hari ini.
“dek poto dulu kami”, kata seorang bapak yang kami lewati
“iya pak mau foto-foto yah!” seraya mengambil kamera dan ingin mengabadikan paras-paras itu.
“senyum yah pak”. “lah ngadep kesinilah pak, katanya mau difoto”
Mereka memalingkan wajahnya sambil tersenyum-senyum, “ah adek ini, betulan rupanya”
Tapi aku tak peduli bagaimana tingkahnya, aku tetap saja menekan panelku dan mengabadikan moment itu. Setelah selesai aku tersenyum dan pergi.

Sambil terus berjalan, seorang bapak mengatakan pada kami
“jangan orang itu yang kalian foto, yang tidur-tidur itu lah yang di foto, sambil menunjuk teman-temannya sesama supir bentor (panggilan tukang becak bermotor di kota medan) di pinggiran toko yang tutup di stasiun hari jumat ini. Tapi aku enggan dan tak tega melihat mereka bergelimpangan dan tidur telanjang perut (kondisi mengangkat kaos sampai ke dada)nya.

Aku terus berjalan, teman-temanku yang lain berpencar dan saling mencari narasumber untuk tulisan yang akan dikumpul malam nanti. Teman ku jane yang berjalan disebelahku ribut ingin naik kereta api dan berfoto di relnya. Benar saja dia begitu di Makassar tak ada kereta api.

Izin kami masuk ke stasiun masih di pending, atasannya masih menge-cek lokasi renovasi di ujung stasiun. Stasiun yang terletak di depan lapangan merdeka itu adalah salah satu peninggalan bangunan bersejarah kota medan yang masih digunakan hingga sekarang dan sedang mengalami renovasi saat ku datangi.

Medan adalah kota yang cukup tua. Umurnya genap 442 tahun dan akan diperingati pada tanggal 1 juli 2012 nanti. Medan dalam bahasa melayu berarti tanah lapang yang luas dijadikan kota oleh seorang kebangsaan belanda bernama Jacob Ninheis yang merupakan pengusaha tembakau yang kaya. Batak karo adalah suku pertama yang ada di kota Medan, dibawa oleh patimpus yang bermarga sembiring.
  
“fotolah abang dek”.
seorang bapak berparas tambun dan mengenakan jaket parasut orange yang menyelimuti kulit sawo matang nya memanggilku. Dia adalah bagian dari puluhan rentetan bentor yang menunggu penumpang di depan stasiun kereta api. Dia duduk diatas becak yang biasa menemaninya narik.

“iya bang, tak fotolah yah bang yah”.
Aku langsung membidik dan mengambil pose-posenya. Dia langsung berpose dan bergaya diatas becaknya dengan mengangkat jempol  ke kamera gayanya seperti seorang wakil walikota yang akan dipilih oleh rakyatnya. Daripada suntuk abang ini mending minta di foto, mungkin ini bisa menghilangkan penat dan panasnya menunggu penumpang pikirku. Pak Edi adalah seorang warga medan-tembung yang narik becak di wilayah stasiun kereta api. Hampir 2 tahun sudah ia menjalani profesi ini. Aku tak menanyainya pekerjaan apa yang digelutinya sebelum ini. Tapi terlihat dari parasnya dan paras teman-temannya, sepertinya harini ini mereka sepi penumpang.

Persaingan di kota kota memang tak mudah. Berbagai kebutuhan, persaingan dan tantangan menjadi satu dalam menjalani kehidupan. Barisan-barisan panjang bentor menghiasi jalan depan gerbang stasiun kereta api medan. Didepannya rentetan toko toko buku yang menjual berbagai buku bekas dan baru yang biasa disebut dengan titi gantung. Dulunya mereka berjualan di titi gantung tapi sejak pemekaran dan pertumbuhan kota, mereka dialihkan dan dipindahkan dilapangan merdeka. Tapi sampai sekarang nama titi gantung itu tak lepas dari panggilan mereka.

“Bang apa kabar?”, sapa ku pada seorang langganan buku di tigan (titigantung)
“saya mau cari buku metopel (metode penelitian) kualitatif  bang, ada?”, aku melanjutkan
“kek ginilah baik-baik aja”, oh adalah, buku apa?, “metopel kualitatif, bentar yah”.
Dia bergegas pergi dari tokonya dan pergi mencari buku yang aku maksud.
Aku menunggunya di toko bersama istrinya yang bernama Anna.
“ibu berapa lama udah jualan?’’.
“udah lama lah dek, sekitar 5 tahun udah”.
“dari dulu udah disini?’’
“enggak, dulu yang di titi gantung sana”. Sambil mengarahkan matanya kedepan arah titi gantung yang tepat ada di seberang jalan.
“alah dek, jualan kaya gini sikitnya untungnya”. Sambil mengamati sekeliling tokonya.
“kadang-kadang seribu, duaribu”.
“kalo buku anak sekolahlah baru agak banyak, lima ribu”
“apa bu suka dukanya jualan disini?’’.
“saingannya banyak …”
“kadang manggil pembeli terus kalo udah mau dibeli gak jadi dipanggil-panggil toko sebelah, sedih dek jualan kek gitu”.
“kami buka toko jam delapan sampe jam Sembilan, kadang cuma dapat 5ribu, malah pernah gak dapat sama sekali”.

Bu Anna adalah seorang wanita berumur 40-an tahun , dan berbaju kuning yang setia menunggu suaminya berjualan dan merelakan waktunya untuk menjaga toko.
“kadang kita kan jualan, tapi bisa gak dapat hasil sama yang kita gaji”. Yah daripada curiga sama orang mending kita yang jaga sendiri yah kan?’’.

“iya yah bu”.

Saya terkesan dengan keteguhan orang untuk bertahan hidup. Rentetan bentor  yang tersusun , kereta api yang menunggu penumpang, barisan toko-toko buku, bangunan besar, kantor-kantor yang berjejer, bank, hotel-hotel indah, restoran, rumah makan, tempat  parkir, taman bahkan kandang burung adalah bukti perjuangan orang untuk  menyambung kehidupannya, pekerjaan dan usaha tak lagi lebih dari sekedar kesenangan tapi juga kesedihan yang terperih.

Susahnya mendapat kerja di kantor-kantor besar itu, susahnya  mendapat pelanggan, menunggu antrean, mengisi kesenangan ditaman kota, melihat burung-burung yang melintas di atas lapangan dan taman, pekerja parkir, pekerja restoran, pekerja kantoran, dan semuanya adalah bukti peradaban yang akan terus berlanjut hingga akhir jaman. Segala yang dilakukan di dunia demi melanjutkan hidup dan segala amal yang akan mengantarkan kehidupan setelahnya menjadi peta kehidupan yang diukir oleh setiap orang.
Dan aku terus berjalan membuat petaku sendiri.(*)

AL-MASHUN SIMBOL KEBANGGAAN MEDAN

Written By sahrul alim on Jumat, 08 Juni 2012 | 20.35


Oleh: Fahrizal Syam/LPPM Profesi UNM*

Usianya tak muda lagi, beberapa kayu pintu mulai lapuk, warna putih dinding bagian luarnya mulai pudar, sebagian lagi sudah ditumbuhi lumut, namun bangunan satu ini masih berdiri kokoh di tengah kota Medan. Mesjid Al-Mashun yang merupakan mesjid peninggalan sultan Deli ke 9, sultan Ma’moen Al Rasyid Perkasa Alam menjadi symbol kejayaan Medan masa lalu.

Melangkahi gerbang utama mesjid, terdapat lantai luas yang biasa digunakan oleh para jemaah untuk shalat. Disana terdapat banyak anak kecil yang dengan begitu cerianya saling bermain kejar-kejaran dengan teman sebayanya. Ada juga wisatawan yang sekadar mengabadikan momen dengan mengarahkan lensa kamera mereka ke arah mesjid yang tampak begitu kokoh dari depan. Beberapa dari mereka bahkan bukanlah orang muslim. Hal ini semakin mempertegas pesona mesjid yang didirikan pada tahun 1906 ini. Tak ketinggalan uluran tengan dari para peminta-minta yang berbaris rapi di kedua sisi gerbang masuk mengharap belas kasih dari para jemaah atau pengunjung yang datang.


Mesjid yang terletak di jalan sisingamaraja kota Medan ini dan berhadapan langsung dengan salah satu pusat perbelanjaan memiliki keunikan tersendiri, terdapat empat buah kubah besar yang berwarna hitam yang semakin menambah eksotis mesjid ini. Di bagian dalam mesjid berdiri kokoh delapan buah tiang yang menjadi penyangga mesjid, juga terdapat banyak ukiran khas melayu yang memanjakan mata setiap kita memasukinya. Tak hanya itu, sebuah kitab suci Al-Quran yang diletakkan di dalam sebuah kotak kaca berukuran 1 meter persegi di pajang di bagian depan mesjid. Menurut Muhammad Rohit (34), kitab suci ummat Islam tersebut merupakan pemberian orang muslim dari Pakistan pada tahun 1910. “Al-Quran yang ditulis tangan ini merupakan pemberian orang Pakistan kepada sultan Deli” Tutur Rohit.

Di pekarangan mesjid jauh lebih menarik, di sekeliling mesjid terdapat begitu banyak kuburan. Beberapa diantaranya adalah makam orang-orang yang pernah merasakan kejayaan kesultanan Deli. Di bagian kanan mesjid terdapat sebuah bangunan kecil yang di dalamnya terdapat makam para sultan Deli, termasuk orang yang membangun mesjid tersebut. Beberapa di antaranya yaitu  Tuanku Sultan Amaluddin Sani, Osman Al sani Perkasa Alam, Tengku Amiruddin Ibni dan beberapa makan permaisuri sultan terdahulu.

Satu hal lagi yang tak kalah menarik, tepat di bagian samping terdapat menara kokoh yang menjadi kiblat dari mesjid ini. Menara tersebut konon dibentuk oleh Syech Hasan Mashud. Meskipun telah berumur lebih dari seabad, mesjid Al-Mashun masih menunjukkan kejayaannya dengan berdiri kokoh di tengah-tengah kota Medan. Ini menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Rosdiannoor misalnya (46), dia mengaku sengaja datang ke mesjid tersebut untuk melihat langsung mesjid ini. Pria asli Kalimantan ini mengaku tak ingin melewatkan kesempatan ketika berada di kota Melayu Deli ini untuk menyaksikan Rumah Allah yang begitu megah tersebut. “Tak lengkap rasanya jika ke medan namun tak mengunjungi Al Mashun” ungkapnya pria asal Pontianak Ini.

Umurnya yang tak mudah lagi lantas tak membuat mesjid ini ikut “keriput” termakan zaman. Kecintaan dan kebanggan warga Medan kepadanya seolah dibayar dengan terus berdiri kokoh. Entah sampai kapan ia akan bertahan, namun selama rakyat Medan masih ada, Mesjid inipun akan tetap menunjukkan ketangguhannya seperti kesultanan Deli terdahulu. Kejayaan kesultanan Deli seakan tercermin di Mesjid ini, dan itu akan selalu menjadi kebanggaan warga kota Melayu Deli.(*)

Nek, Kau Buatku Menangis

Written By Unknown on Kamis, 07 Juni 2012 | 19.32



Oleh: Nurjanna Jamaluddin (LPPM Profesi UNM)

Wajahnya tak lagi sebening dulu. Garis-garis kerutan membalut tubuhnya yang kering. Tulang-tulangnya yang keropos termakan usia. Rambutnya yang putih kian bertambah. Kian hari kian tak terawat. Teriknya matahari seakan membakar tubuhnya yang tua tentah yang sedang duduk sambil menjulurkan tangannya di atas  jembatan satasiun kereta api kota seribu marga tersebut.

Seorang Wartawan sedang Mewawancarai Pengemis Stasiun Kereta Api
Ribuan kendaraan melintas di depan stasiun kereta api kota Medan. Lalu lintas pun kembali padat. Bangunan-bangunan megah menjulang tinggi bak pencakar langit di sekeliling stasiun. Penumpang mulai memadati stasiun. Kereta-kereta api mulai berjejeran. Di tengah keramaian itu, pandanganku tertujuh pada sosok nenek yang sedang duduk di jembatan dekat stasiun tersebut.
Kendaraan yang lalu lalang melewati jembatan, tak membuat sang nenek merasa takut. Dengan sejuta tanda tanya besar di kepalaku. Aku melangkah mendekati sang nenek. Dia tersenyum padaku. Matanya yang sudah termakan usia, masih mampu menatap wajahku yang juga tersenyum padanya. “Nenek, namanya siapa?,” sapaku lembut. “Idah,” jawabnya lemah.
Tetesan keringat mulai membasahi bajunya yang tipis tak berwarna. Kakinya yang terluka dan terbakar oleh panasnya aspal jembatan tak membuatnya terganggu. Saat itu aku memintanya tuk bercerita. Sang nenek pun mencurahkan isi hatinya yang hidup sebatang kara itu.
Di pinggiran jembatan aku mendengarkan curahan hari sang nenek. Panasnya matahari membuatku gerah tapi tidak untuk sang nenenk. Waktu itu, jam masih menunjukkan pukul 11.00 Wib. Dalam ceritanya, nenek mengatakan bahwa dia sudah lama menjalani hidupnya smenjadi seorang pengemis. Keadaanlah yang membuat sang nenek melakukan perbuatan yang hina di mata tuhan ini. “Nenek malu terus menerus mengemis, tapi nenek lapar, nenek ingin makan nak, hanya ini yang bisa nenek lakukan,” ucapnya sambil menangis.
Ketika matahari sudah setinggi badan orang dewasa, sang nenek udah beranjak menuju jembatan dekat stasiun ini. Dengan menempuh waktu kurang lebih 20 menit dari daerah Sunggal, sang nenek memulai aktivitasnya. Nenek yang berdarah Medan sudah mengemis sejak dia ditinggal saudaranya ke negeri Jiran sekitar 18 tahun lalu. Nenek mengaku kesal dengan orang Batak yang telah memberi tumpangan yang justru malah menjadi musuh dalam selimut. Barang-barang dan harta berharga lain yang menjadi milik sang nenek dibawa kabur oleh orang Batak tersebut. Sejak itulah, derita demi derita menjadi sarapan harian nenek yang hidup sebatang kara.
Tapi, nenek tetap berjuang di sisa-sisa waktunya yang menurutnya tidak akan lama lagi. Mengemislah yang membuatnya bertahan hingga saat ini. sang nenek terus menjulurkan tangannya yang lemah sampai maut yang menghentikannya. Ketika sedang ramai, nenek bisa mendapatkan uang yang lumayan untuk makannya beberapa hari. Tapi, kadang kala sang nenek pun tak mendapatkan sepeserpun. Sang nenek tetap bersabar menanti siapa saja yang berbaik hati untuk mengasihaninya. “Nenek sabar nak, nenek ga pernah ngeluh,” ucapnya.
Sering kali sang nenek ditegur oleh polisi setempat. Namun, teguran itu seakan angin lalu baginya. Untungnya, polisi pun mengerti dengan keadaannya. Sang poilisi pun selalu mengingatkan sang nenek untuk menghentikan kegiatan nenek yang mengemis. Tapi, namanya orang tua yang sudah tua rentah, pasti sulit untuk mendengarkan kita.
Dalam penderitaan yang mengisi hidupnya, sang nenek berdoa agar sang ilahi mencabut nyawanya. “Apa, apa, apa salah nenek? Apa nenek salah jika mengemis? Mengapa nenek harus tersiksa? Malaikat maut, Ambillah nyawa saya,” ucap sang nenek sambil menatap langit. Sang nenek memiliki harapan besar, ketika dia meninggal nanti, dia berharap, ada yang bisa menemukan jazadnya dan menguburkannya dengan layak.
Mendengar suaranya yang bergetar, hatiku terasa sesak. Mataku berkaca-kaca. Ku coba untuk menahannya. Aku langsung teringat dengan nenekku yang udah lama meninggal. Aku merindukannya. Di saat aku menjabat tangannya yang kasar, ku ucap salam perpisahan padanya. “Jaga diri nenek ya, maafkan saya jika sudah mengganggu nenek,” ucapku sambil melepas kacamata minusku. Aku pun meninggalkan sang nenek dan menuju ke tempat-tempat. Di perjalannan air mata yang sejak tadi ku tahan, akhirnya mengalir tak terhentikan. Padahal aku sosok yang kuat. Aku jarang menangis dan mengeluh. Namun, aku tidak malu untuk menangis. Karena aku tahu ini pantas untuk aku tangisi.
Mendengar cerita nenek, aku sempat kesal dengan pemerintah saat ini. mereka tak memperhatikan rakyatnya yang miskin dan menderita. Seharusnya mereka memperhatikan kehidupan orang pinggiran yang sama sekali tak tersentuh oleh tangan-tangan sang pemegang kekuasaaan. Sungguh malang negeri ini. sungguh malang nasib sang nenek. (NJA

Inilah Rumah Melayu

Written By sahrul alim on Rabu, 06 Juni 2012 | 04.48


Oleh: Imron Gipong*

Istana Maimoon berdiri pada tanggal 26 Agustus 1888, Didirikan oleh seorang Sultan Deli ke 9 dengan nama Sultan Ma’moen Al Rasyid. Bangunan yang telah berdiri lebih dari 1 abad ini berdiri kokoh di tengah hiruk pikuk kota Medan.

Asap motor kendaraan beroda mengisi teriknya udara, hingga kerah baju menjadi basah akibat kondisi Kota yang mulai padat penduduknya. Ditambah gedung-gedung pencakar langit dengan gaya arsitektur semi modern hingga yang modern melengakapi hiruk pikuk kota Medan. Namun terlihat rumah adat yang besar dan panjang di seberang gedung bertingkat (perpustakaan daerah-red), dengan pagar panjang membentengi rumah besar itu. Terlihat dari trotoar rumah perpaduan warna hijaunya halaman dan kuning rumah ditengah lalu lalang kereta dan montor. Ketika mulai melangkah dengan pakaian hitam dan kaki yang juga nampaknya akan sama, tak sengaja membaca tulisan “Istana Maimoon” pada papan yang terletak di bagian atas pagar besi pintu masuk rumah.

Petugas dengan pakaian putih dan biru gelap mengawasi langkah saya menuju ke rumah besar dan panjang dengan mata yang curiga. Namun tetap kuteruskan langkah hingga tiba di depan rumah walau setengah lengan tangan terasa gosong, karena semakin penasaran kupandangi kedua tiang di depan rumah. Terdapat tulisan berbahasa Arab warna hitam di batu yang berbentuk prasasti dengan cat putih di tiang sebelah kiri, ketika kupandangi tiang sebaliknya yang berada di sebelah kanan terdapat tulisan latin “Istana Maimoon 26 Agustus 1888”.

Semakin penasaran ku tapaki anak tangga yang berjumlah puluhan satu demi satu dengan kaki beralaskan sandal, hingga kulepaskan sandal itu di anak tangga paling tinggi lalu kemudian masuk ke sebuah ruangan depan bersama pengunjung yang berjumlah puluhan. Di sebelah kanan pintu masuk ruang depan Istana terdapat meja dengan seorang perempuan, para pengunjung yang berjumlah puluhan bergerak menuju kesana. Ternyata di meja itu tempat pembayaran retribusi masuk Istana Maimoon yang dikelola oleh Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid, “untuk tiket masuk Istana harganya 3 ribu”  ucap perempuan itu di kursinya.

Ketika ku coba memandangi keseluruhan ruang depan, terlihat foto wajah seseorang didinding kuning sebelah kiri ketika kudekati, terdapat tulisan Yang Mulia Tuanku Sulthan Maimoen Al-Rasyid Perkasa Alamsyah, lahir Senin 13 Zulkaidah 1271 H (1853 M), diangkat menjadi Sulthan 4 Jumaidil Akhir 1291 H (1873 M), Mangkat pada hari selasa 9 September 1924 di bawah wajah foto tersebut. Semakin bingung saya ketika melihat foto tersebut, dan timbul pertanyaan apakah wajah di foto tersebut adalah orang yang mendirikan Istana ini hingga terpajang di ruang depan rumah besar dan panjang yang membuat penasaran saya.

Masuk ruang berikutnya terlihat seseorang berdagang buku dikelilingi oleh belasan pengunjung, kemudian coba kudekati kerumunan itu. Pedagang tersebut bernama Azri sekaligus sebagai pekerja di dalam Istana Maimoon, sesembari menawarkan buku-buku yang dijualnya Azri juga menceritakan sejarah panjang Istana yang kuanggap Rumah Besar ini sehingga di kelilingi oleh puluhan pengunjung yang datang. Azri mengatakan bahwa Istana ini didirikan tanggal 26 Agustus 1888 oleh seorang Sultan Deli ke 9 dengan nama Sultan Ma’moen Al Rasyid. “foto Sultan Ma’moen Al Rasyid bisa dilihat di ruang depan pintu masuk”, tambahnya sesembari menunjuk ke ruang sebelumnya yang saya masuki. Rasa penasaranku sedikit menghilang ketika mengerti siapa foto yang sebelumnya saya perhatikan adalah seorang pendiri Istana yang terletak di pusat kota Medan.

Kupandangi sekitar ruang yang penuh dengan ornamen dinding dan interior bangunan yang masih klasik di masa kini sembari mendengarkan Bang Azri bercerita, “Inilah Rumah Melayu” katanya dengan penekanan suara yang tinggi. Memang terlihat di Ruang Tengah penuh dengan seni baik dari Eropa dan Timur Tengah bercampur dengan kekhasan Rumah Melayu yang memaksimalkan kayu sebagai tiang Rumah. Terdapat pula Singgasana Sulthan di sebelah kanan dari arah pintu masuk ke ruang tersebut, serta 2 Kaca Besar dan beberapa tokoh-tokoh Istana yang terpajang di dinding ruang. “ornament Istana ini berasal dari Melayu, Timur Tengah, dan Eropa”, kata Azri di tempat duduk berjualannya. Bangunan ini juga masih memiliki nilai estetika dari Belanda, walaupun Ornamen-ornamen yang terlihat disini kebanyakan Melayu Baik Riau, Bengkulu, bahkan Malaysia lanjut Azri bercerita kepada pengunjung.

Kekhasan Istana juga terlihat dari dinding dan interior ruangan yang berwarna kuning. Seperti yang diungkapkan oleh Azri, “mungkin Melayu identik dengan warna kuning, sehingga interior ruangan disini juga kebanyakan berwarna kuning”  jelasnya.(*) 
 
Support : Facebook | Sahrul Arul | Almamater
Copyright © 2011. Kisah Kami - All Rights Reserved
Template Created by Sahrul Arul Published by Almamater
Proudly powered by Blogger