Buat kalian para mahasiswa Universitas, pastinya sering
merasa jenuh dengan aktifitas perkuliahan. Bosan duduk di dalam kelas yang
begitu sesak dan panas. Mengantuk ketika
dosen sedang sibuk-sibuknya berceloteh memberikan mata kuliah, dan yang
paling menjengkelkan ketika dosen terus menerus memberikan tugas kepada kita.
Meskipun menurut mereka tugas itu sangat penting tetapi tetap saja itu hanya
menjadi beban bagi beberapa mahasiswa. Termasuk aku tentunya.. heheh
Latest Post
INIKAH RASANYA KKN..???
Written By Fahrizal Syam on Rabu, 11 Juli 2012 | 23.35
“TENWURUK” Masih ada, Sejak sebelas abad yang lalu
Written By sahrul alim on Sabtu, 16 Juni 2012 | 21.50
Oleh: Asykur Anam
Tenwuruk yang berarti tidak ditimbun, itulah prosesi penguburan khas ala desa trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Penguburan di desa ini berbeda dengan desa–desa di bali pada umumnya, yang melakukan penguburan dengan cara ditimbun tanah sebelum diaben (pembakaran mayat).
Namun, di desa ini penguburan dilakukan hanya dengan meletakkan mayat yang sudah dikafani (mayat dibalut kain kafan dan hanya diperlihatkan kepalanya)namun tidak menimbulkan bau karena diletakkan disamping pohon taru menyan ( kayu wangi ) yang hanya dipagari bambu. Ini dilakukan sebelum mayat tersebut diaben.
Dalam tradisi masyarakat trunyan pengabenan dilakukan tiga, Sembilan, duabelas hingga limabelas tahun sekali . Jika mayat yang di tenwuruk sudah berbentuk tengkorak maka akan dipindah ke tempat khusus menaruh tengkorak dan tulang – tulang lainnya.Tidak sembarang orang yang dimakam di kuburan yang maksimal ditempati sebelas mayat ini.
Hanya warga asli trunyan seperti: kepala desa adat, penghulu, pemangku , dan orang dewasa yang meninggal secara wajar. Sedangkan untuk bayi dan orang meninggal tidak wajar (kecelakaan, bunuh diri) makamnya dipisah. Bahkan makam antara kepala desa adat, pemangku, penghulu, dipisah dengan warga biasa dan dipayungi dengan kain putih, sedangkan untuk warga biasa hanya digeletakkan saja dandipagari bambu. Di bali sendiri hanya trunyan yang memiliki cara penguburan yang sudah berumur sebelas abad-an ini.
Tenwuruk yang berarti tidak ditimbun, itulah prosesi penguburan khas ala desa trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Penguburan di desa ini berbeda dengan desa–desa di bali pada umumnya, yang melakukan penguburan dengan cara ditimbun tanah sebelum diaben (pembakaran mayat).
Namun, di desa ini penguburan dilakukan hanya dengan meletakkan mayat yang sudah dikafani (mayat dibalut kain kafan dan hanya diperlihatkan kepalanya)namun tidak menimbulkan bau karena diletakkan disamping pohon taru menyan ( kayu wangi ) yang hanya dipagari bambu. Ini dilakukan sebelum mayat tersebut diaben.
Dalam tradisi masyarakat trunyan pengabenan dilakukan tiga, Sembilan, duabelas hingga limabelas tahun sekali . Jika mayat yang di tenwuruk sudah berbentuk tengkorak maka akan dipindah ke tempat khusus menaruh tengkorak dan tulang – tulang lainnya.Tidak sembarang orang yang dimakam di kuburan yang maksimal ditempati sebelas mayat ini.
Hanya warga asli trunyan seperti: kepala desa adat, penghulu, pemangku , dan orang dewasa yang meninggal secara wajar. Sedangkan untuk bayi dan orang meninggal tidak wajar (kecelakaan, bunuh diri) makamnya dipisah. Bahkan makam antara kepala desa adat, pemangku, penghulu, dipisah dengan warga biasa dan dipayungi dengan kain putih, sedangkan untuk warga biasa hanya digeletakkan saja dandipagari bambu. Di bali sendiri hanya trunyan yang memiliki cara penguburan yang sudah berumur sebelas abad-an ini.
Diletakkan, tengkorak diletakkan di atas batu sebelum diaben. Foto: Asykur Anam |
Makam di desa trunyan yang ditempati maksimal sebelas mayat Foto: Asykur Anam |
Kayu taru menyan, yang diyakini dapat menghilangkan bau busukyang ditimbukan mayat Foto: Asykur Anam |
Mengintip Keindahan Mesjid Raya Kota Medan
Written By sahrul alim on Rabu, 13 Juni 2012 | 06.43
Oleh
: Astuni Rahayu*
Mesjid peninggalan
kerajaan Deli itu masih terlihat berdiri tegap di tepi jalan Brigjend katamso, Sumatera
Utara, Kota Medan. Dari kejauhan terlihat sebuah kubah menjulang ke langit. Apabila
dilihat dari depan mesjid, terlihat seperti gedung kerajaan zaman dulu kala. Mesjid itu bernama Mesjid Raya Al-Maishun. Mesjid ini
merupakan salah satu bangunan bersejarah peninggalan kerajaan Deli dan hingga
sekarang masih dipergunakan oleh masyarakat setempat maupun wisatawan. Bangunan
mesjid Al-Maishun ini terbuat dari corak Arab-Eropa, yang dibangun semasa raja
Maimun. Orang sekitar menyebut mesjid raya kota Medan ini, mesjid Maimun, walaupun sebenarnya mesjid raya
ini bernama Al-Maishun.
Foto: Astuni Rahayu |
Desain
bangunan mesjid Al-Maishun merupakan
buatan arsitek orang Belanda. Atap dan mimbar kubahnya dibuat dari tembaga,
sedangkan kaca mesjid ini berasal dari perancis, dan kubah yang berada di
tengahnya melambangkan kebesaraan Allah, sesuai dengan kepercayaan orang
muslim. Mesjid Al-Maishun berdiri sejak 1906. Yang pertama kali dibangun oleh Sultan
Deli Maimun sebagai raja pada masa itu. Setelah berdirinya mesjid Al-Mashun ini
maka kerajaan menggunakannya secara khusus selama tiga tahun, mulai tahun 1909
baru dibuka untuk umum.
Selain
bangunannya mewah, ternyata mesjid ini juga memiliki majelis taklib yang setia
untuk mengelolanya. Bahkan sebagian dari mereka rela untuk tinggal disana.
Majelis taklib beranggota sekitar 30 orang, ada yang berasal dari Medan dan ada
juga pendatang. Kegiatan yang dilakukan oleh majelis taklib bermacam-macam,
salah satunya adalah menyampaikan syariat agama Islam kepada umat muslim.
Selain itu mereka juga membimbing anak-anak yang masih usia dini untuk belajar
agama Islam. Peraturan pun juga diterapkan di Mesjid ini, bagi anak-anak yang
berusia 5-10 tahun diwajibkan untuk menghapal hadist sebanyak 100 hadist dan
ayat-ayat pendek.
Mesjid yang
berlantai satu ini memiliki fungsi yang bermacam-macam. Abdurrahman bin Auf
salah satu majelis yang tinggal disana menuturkan, mesjid ini selain digunakan
untuk tempat beribadah juga acap kali digunakan sebagai tempat pengajian, dan
tempat berdiskusi yang biasa disebut
taklib dan walatablun atau biasa dikenal pengajian tentang shalat, puasa, kewajiban
orang muslim. Pengajian biasanya dilakukan pada pagi hari.
Abdurrahman juga mengaku mesjid ini telah ia tempati
selama 5 tahun. Selama ia berada dimesjid ini belum pernah mengalami renovasi, kecuali
proses pengecatan “Mesjid Al-Maishun ini utuh seperti sedia kala, tanpa ada
perubahan sama sekali” ungkapnya, Jum’at (25/5).
Laki-laki yang berumur sekitar 30 tahun ini menambahkan,
kalau mesjid raya Al-Maishun ini merupakan
aset wisatawan kota Medan yang memicu pengunjung untuk singgah, baik itu untuk
mencuci mata, berpoto dan untuk beribadah. Ia berharap kedepannya mesjid Al-Maishun
ini lebih dipelihara dengan baik dan mendapatkan perhatian dari pemerintahan
maupun masyarakat setempat. Mesjid Al-Maishun bukan hanya digunakan masyarakat
Medan sekitar saja melainkan juga digunakan oleh orang-orang pendatang baik itu
dari warga lokal maupun manca negara. Sebab itu Mesjid Al-Maishun adalah salah
satu kebanggaan Indonesia. “Karena setiap sudut dari bangunan ini memiliki
nilai seni sejarah dan budaya yang sangat besar, tegas Abdurrahman, Jum’at (25/5).
Walaupun mesjid ini memiliki
daya tarik yang besar terhadap pengunjung, namun mesjid ini belum mendapatkan
sepenuhnya perhatian dari pemerintah maupun masyarakat setempat. Ini terbukti
dengan adanya rumput-rumput yang menjalar tinggi disekitar mesjid Al-Maishun
dan terdapat pentilasi udara dimesjid yang terlihat sudah rusak. “Terjaganya
keindahan mesjid Raya adalah salah satu tanggung jawab pemerintah kota Medan,
apabila diperhatikan InsyaAllah keindahan dan pesona Mesjid Al-Maishun terlihat
menakjubkan. Namun hingga sekarang belum sepenuhnya dapat perhatian dari
pemerintah maupun pihak bewajib,” katanya, Jum’at (25/5).(*)
“PETA KEHIDUPAN”
Written By sahrul alim on Sabtu, 09 Juni 2012 | 01.25
Oleh: Utami Fadilah/ LPM Kreatif Unimed*
Hiruk pikuk suara klakson mobil dan kereta (sebutan
motor untuk orang medan) mengawali perjalanan kami hari ini.
“dek poto dulu kami”, kata seorang bapak yang kami
lewati
“iya pak mau foto-foto yah!” seraya mengambil kamera
dan ingin mengabadikan paras-paras itu.
“senyum yah pak”. “lah ngadep kesinilah pak, katanya
mau difoto”
Mereka memalingkan wajahnya sambil tersenyum-senyum,
“ah adek ini, betulan rupanya”
Tapi aku tak peduli bagaimana tingkahnya, aku tetap
saja menekan panelku dan mengabadikan moment itu. Setelah selesai aku tersenyum
dan pergi.
Sambil terus berjalan, seorang bapak mengatakan pada
kami
“jangan orang itu yang kalian foto, yang tidur-tidur
itu lah yang di foto, sambil menunjuk teman-temannya sesama supir bentor (panggilan
tukang becak bermotor di kota medan) di pinggiran toko yang tutup di stasiun
hari jumat ini. Tapi aku enggan dan tak tega melihat mereka bergelimpangan dan
tidur telanjang perut (kondisi mengangkat kaos sampai ke dada)nya.
Aku terus berjalan, teman-temanku yang lain berpencar
dan saling mencari narasumber untuk tulisan yang akan dikumpul malam nanti.
Teman ku jane yang berjalan disebelahku ribut ingin naik kereta api dan berfoto
di relnya. Benar saja dia begitu di Makassar tak ada kereta api.
Izin kami masuk ke stasiun masih di pending, atasannya masih menge-cek lokasi renovasi di ujung stasiun. Stasiun yang terletak di depan lapangan
merdeka itu adalah salah satu peninggalan bangunan bersejarah kota medan yang
masih digunakan hingga sekarang dan sedang mengalami renovasi saat ku datangi.
Medan adalah kota yang cukup tua. Umurnya genap 442
tahun dan akan diperingati pada tanggal 1 juli 2012 nanti. Medan dalam bahasa
melayu berarti tanah lapang yang luas dijadikan kota oleh seorang kebangsaan
belanda bernama Jacob Ninheis yang merupakan pengusaha tembakau yang kaya.
Batak karo adalah suku pertama yang ada di kota Medan, dibawa oleh patimpus
yang bermarga sembiring.
“fotolah abang dek”.
seorang bapak berparas tambun dan mengenakan jaket
parasut orange yang menyelimuti kulit sawo matang nya memanggilku. Dia adalah
bagian dari puluhan rentetan bentor yang menunggu penumpang di depan stasiun
kereta api. Dia duduk diatas becak yang biasa menemaninya narik.
“iya bang, tak fotolah yah bang yah”.
Aku langsung membidik dan mengambil pose-posenya. Dia
langsung berpose dan bergaya diatas becaknya dengan mengangkat jempol ke kamera gayanya seperti seorang wakil
walikota yang akan dipilih oleh rakyatnya. Daripada suntuk abang ini mending minta
di foto, mungkin ini bisa menghilangkan penat dan panasnya menunggu penumpang
pikirku. Pak Edi adalah seorang warga medan-tembung yang narik becak di wilayah
stasiun kereta api. Hampir 2 tahun sudah ia menjalani profesi ini. Aku tak
menanyainya pekerjaan apa yang digelutinya sebelum ini. Tapi terlihat dari
parasnya dan paras teman-temannya, sepertinya harini ini mereka sepi penumpang.
Persaingan di kota kota memang tak mudah. Berbagai
kebutuhan, persaingan dan tantangan menjadi satu dalam menjalani kehidupan.
Barisan-barisan panjang bentor menghiasi jalan depan gerbang stasiun kereta api
medan. Didepannya rentetan toko toko buku yang menjual berbagai buku bekas dan
baru yang biasa disebut dengan titi gantung. Dulunya mereka berjualan di titi
gantung tapi sejak pemekaran dan pertumbuhan kota, mereka dialihkan dan
dipindahkan dilapangan merdeka. Tapi sampai sekarang nama titi gantung itu tak
lepas dari panggilan mereka.
“Bang apa kabar?”, sapa ku pada seorang langganan
buku di tigan (titigantung)
“saya mau cari buku metopel (metode penelitian)
kualitatif bang, ada?”, aku melanjutkan
“kek ginilah baik-baik aja”, oh adalah, buku apa?,
“metopel kualitatif, bentar yah”.
Dia bergegas pergi dari tokonya dan pergi mencari
buku yang aku maksud.
Aku menunggunya di toko bersama istrinya yang bernama
Anna.
“ibu berapa lama udah jualan?’’.
“udah lama lah dek, sekitar 5 tahun udah”.
“dari dulu udah disini?’’
“enggak, dulu yang di titi gantung sana”. Sambil
mengarahkan matanya kedepan arah titi gantung yang tepat ada di seberang jalan.
“alah dek, jualan kaya gini sikitnya untungnya”.
Sambil mengamati sekeliling tokonya.
“kadang-kadang seribu, duaribu”.
“kalo buku anak sekolahlah baru agak banyak, lima
ribu”
“apa bu suka dukanya jualan disini?’’.
“saingannya banyak …”
“kadang manggil pembeli terus kalo udah mau dibeli
gak jadi dipanggil-panggil toko sebelah, sedih dek jualan kek gitu”.
“kami buka toko jam delapan sampe jam Sembilan,
kadang cuma dapat 5ribu, malah pernah gak dapat sama sekali”.
Bu Anna adalah seorang wanita berumur 40-an tahun ,
dan berbaju kuning yang setia menunggu suaminya berjualan dan merelakan
waktunya untuk menjaga toko.
“kadang kita kan jualan, tapi bisa gak dapat hasil
sama yang kita gaji”. Yah daripada curiga sama orang mending kita yang jaga
sendiri yah kan?’’.
“iya yah bu”.
Saya terkesan dengan keteguhan orang untuk bertahan
hidup. Rentetan bentor yang tersusun ,
kereta api yang menunggu penumpang, barisan toko-toko buku, bangunan besar,
kantor-kantor yang berjejer, bank, hotel-hotel indah, restoran, rumah makan,
tempat parkir, taman bahkan kandang
burung adalah bukti perjuangan orang untuk
menyambung kehidupannya, pekerjaan dan usaha tak lagi lebih dari sekedar
kesenangan tapi juga kesedihan yang terperih.
Susahnya mendapat kerja di kantor-kantor besar itu,
susahnya mendapat pelanggan, menunggu
antrean, mengisi kesenangan ditaman kota, melihat burung-burung yang melintas
di atas lapangan dan taman, pekerja parkir, pekerja restoran, pekerja kantoran,
dan semuanya adalah bukti peradaban yang akan terus berlanjut hingga akhir
jaman. Segala yang dilakukan di dunia demi melanjutkan hidup dan segala amal
yang akan mengantarkan kehidupan setelahnya menjadi peta kehidupan yang diukir
oleh setiap orang.
Dan aku terus berjalan membuat petaku sendiri.(*)
AL-MASHUN SIMBOL KEBANGGAAN MEDAN
Written By sahrul alim on Jumat, 08 Juni 2012 | 20.35
Oleh: Fahrizal Syam/LPPM Profesi UNM*
Usianya tak muda lagi, beberapa kayu pintu mulai lapuk,
warna putih dinding bagian luarnya mulai pudar, sebagian lagi sudah ditumbuhi
lumut, namun bangunan satu ini masih berdiri kokoh di tengah kota Medan. Mesjid
Al-Mashun yang merupakan mesjid peninggalan sultan Deli ke 9, sultan Ma’moen Al
Rasyid Perkasa Alam menjadi symbol kejayaan Medan masa lalu.
Melangkahi gerbang utama mesjid, terdapat lantai luas yang
biasa digunakan oleh para jemaah untuk shalat. Disana terdapat banyak anak
kecil yang dengan begitu cerianya saling bermain kejar-kejaran dengan teman
sebayanya. Ada juga wisatawan yang sekadar mengabadikan momen dengan
mengarahkan lensa kamera mereka ke arah mesjid yang tampak begitu kokoh dari
depan. Beberapa dari mereka bahkan bukanlah orang muslim. Hal ini semakin
mempertegas pesona mesjid yang didirikan pada tahun 1906 ini. Tak ketinggalan
uluran tengan dari para peminta-minta yang berbaris rapi di kedua sisi gerbang
masuk mengharap belas kasih dari para jemaah atau pengunjung yang datang.
Mesjid yang terletak di jalan sisingamaraja kota Medan ini dan
berhadapan langsung dengan salah satu pusat perbelanjaan memiliki keunikan
tersendiri, terdapat empat buah kubah besar yang berwarna hitam yang semakin
menambah eksotis mesjid ini. Di bagian dalam mesjid berdiri kokoh delapan buah
tiang yang menjadi penyangga mesjid, juga terdapat banyak ukiran khas melayu
yang memanjakan mata setiap kita memasukinya. Tak hanya itu, sebuah kitab suci
Al-Quran yang diletakkan di dalam sebuah kotak kaca berukuran 1 meter persegi
di pajang di bagian depan mesjid. Menurut Muhammad Rohit (34), kitab suci ummat
Islam tersebut merupakan pemberian orang muslim dari Pakistan pada tahun 1910.
“Al-Quran yang ditulis tangan ini merupakan pemberian orang Pakistan kepada
sultan Deli” Tutur Rohit.
Di pekarangan mesjid jauh lebih menarik, di sekeliling
mesjid terdapat begitu banyak kuburan. Beberapa diantaranya adalah makam
orang-orang yang pernah merasakan kejayaan kesultanan Deli. Di bagian kanan
mesjid terdapat sebuah bangunan kecil yang di dalamnya terdapat makam para
sultan Deli, termasuk orang yang membangun mesjid tersebut. Beberapa di
antaranya yaitu Tuanku Sultan Amaluddin
Sani, Osman Al sani Perkasa Alam, Tengku Amiruddin Ibni dan beberapa makan
permaisuri sultan terdahulu.
Satu hal lagi yang tak kalah menarik, tepat di bagian
samping terdapat menara kokoh yang menjadi kiblat dari mesjid ini. Menara
tersebut konon dibentuk oleh Syech Hasan Mashud. Meskipun telah berumur lebih
dari seabad, mesjid Al-Mashun masih menunjukkan kejayaannya dengan berdiri
kokoh di tengah-tengah kota Medan. Ini menjadi daya tarik bagi para wisatawan.
Rosdiannoor misalnya (46), dia mengaku sengaja datang ke mesjid tersebut untuk
melihat langsung mesjid ini. Pria asli Kalimantan ini mengaku tak ingin melewatkan
kesempatan ketika berada di kota Melayu Deli ini untuk menyaksikan Rumah Allah
yang begitu megah tersebut. “Tak lengkap rasanya jika ke medan namun tak
mengunjungi Al Mashun” ungkapnya pria asal Pontianak Ini.
Umurnya yang tak mudah lagi lantas tak membuat mesjid ini
ikut “keriput” termakan zaman. Kecintaan dan kebanggan warga Medan kepadanya
seolah dibayar dengan terus berdiri kokoh. Entah sampai kapan ia akan bertahan,
namun selama rakyat Medan masih ada, Mesjid inipun akan tetap menunjukkan ketangguhannya
seperti kesultanan Deli terdahulu. Kejayaan kesultanan Deli seakan tercermin di
Mesjid ini, dan itu akan selalu menjadi kebanggaan warga kota Melayu Deli.(*)
Nek, Kau Buatku Menangis
Written By Unknown on Kamis, 07 Juni 2012 | 19.32
Oleh:
Nurjanna Jamaluddin (LPPM Profesi UNM)
Wajahnya tak lagi sebening dulu.
Garis-garis kerutan membalut tubuhnya yang kering. Tulang-tulangnya yang
keropos termakan usia. Rambutnya yang putih kian bertambah. Kian hari kian tak
terawat. Teriknya matahari seakan membakar tubuhnya yang tua tentah yang sedang
duduk sambil menjulurkan tangannya di atas
jembatan satasiun kereta api kota seribu marga tersebut.
Seorang Wartawan sedang Mewawancarai Pengemis Stasiun Kereta Api |
Ribuan kendaraan melintas di depan stasiun kereta
api kota Medan. Lalu lintas pun kembali padat. Bangunan-bangunan megah
menjulang tinggi bak pencakar langit di sekeliling stasiun. Penumpang mulai
memadati stasiun. Kereta-kereta api mulai berjejeran. Di tengah keramaian itu,
pandanganku tertujuh pada sosok nenek yang sedang duduk di jembatan dekat
stasiun tersebut.
Kendaraan yang lalu lalang melewati jembatan, tak
membuat sang nenek merasa takut. Dengan sejuta tanda tanya besar di kepalaku.
Aku melangkah mendekati sang nenek. Dia tersenyum padaku. Matanya yang sudah
termakan usia, masih mampu menatap wajahku yang juga tersenyum padanya. “Nenek,
namanya siapa?,” sapaku lembut. “Idah,” jawabnya lemah.
Tetesan keringat mulai membasahi bajunya yang tipis
tak berwarna. Kakinya yang terluka dan terbakar oleh panasnya aspal jembatan
tak membuatnya terganggu. Saat itu aku memintanya tuk bercerita. Sang nenek pun
mencurahkan isi hatinya yang hidup sebatang kara itu.
Di pinggiran jembatan aku mendengarkan curahan hari
sang nenek. Panasnya matahari membuatku gerah tapi tidak untuk sang nenenk.
Waktu itu, jam masih menunjukkan pukul 11.00 Wib. Dalam ceritanya, nenek
mengatakan bahwa dia sudah lama menjalani hidupnya smenjadi seorang pengemis.
Keadaanlah yang membuat sang nenek melakukan perbuatan yang hina di mata tuhan
ini. “Nenek malu terus menerus mengemis, tapi nenek lapar, nenek ingin makan
nak, hanya ini yang bisa nenek lakukan,” ucapnya sambil menangis.
Ketika matahari sudah setinggi badan orang dewasa,
sang nenek udah beranjak menuju jembatan dekat stasiun ini. Dengan menempuh
waktu kurang lebih 20 menit dari daerah Sunggal, sang nenek memulai
aktivitasnya. Nenek yang berdarah Medan sudah mengemis sejak dia ditinggal
saudaranya ke negeri Jiran sekitar 18 tahun lalu. Nenek mengaku kesal dengan
orang Batak yang telah memberi tumpangan yang justru malah menjadi musuh dalam
selimut. Barang-barang dan harta berharga lain yang menjadi milik sang nenek
dibawa kabur oleh orang Batak tersebut. Sejak itulah, derita demi derita
menjadi sarapan harian nenek yang hidup sebatang kara.
Tapi, nenek tetap berjuang di sisa-sisa waktunya
yang menurutnya tidak akan lama lagi. Mengemislah yang membuatnya bertahan
hingga saat ini. sang nenek terus menjulurkan tangannya yang lemah sampai maut
yang menghentikannya. Ketika sedang ramai, nenek bisa mendapatkan uang yang
lumayan untuk makannya beberapa hari. Tapi, kadang kala sang nenek pun tak
mendapatkan sepeserpun. Sang nenek tetap bersabar menanti siapa saja yang
berbaik hati untuk mengasihaninya. “Nenek sabar nak, nenek ga pernah ngeluh,”
ucapnya.
Sering kali sang nenek ditegur oleh polisi setempat.
Namun, teguran itu seakan angin lalu baginya. Untungnya, polisi pun mengerti
dengan keadaannya. Sang poilisi pun selalu mengingatkan sang nenek untuk
menghentikan kegiatan nenek yang mengemis. Tapi, namanya orang tua yang sudah
tua rentah, pasti sulit untuk mendengarkan kita.
Dalam penderitaan yang mengisi hidupnya, sang nenek
berdoa agar sang ilahi mencabut nyawanya. “Apa, apa, apa salah nenek? Apa nenek
salah jika mengemis? Mengapa nenek harus tersiksa? Malaikat maut, Ambillah
nyawa saya,” ucap sang nenek sambil menatap langit. Sang nenek memiliki harapan
besar, ketika dia meninggal nanti, dia berharap, ada yang bisa menemukan
jazadnya dan menguburkannya dengan layak.
Mendengar suaranya yang bergetar, hatiku terasa
sesak. Mataku berkaca-kaca. Ku coba untuk menahannya. Aku langsung teringat
dengan nenekku yang udah lama meninggal. Aku merindukannya. Di saat aku
menjabat tangannya yang kasar, ku ucap salam perpisahan padanya. “Jaga diri
nenek ya, maafkan saya jika sudah mengganggu nenek,” ucapku sambil melepas
kacamata minusku. Aku pun meninggalkan sang nenek dan menuju ke tempat-tempat.
Di perjalannan air mata yang sejak tadi ku tahan, akhirnya mengalir tak
terhentikan. Padahal aku sosok yang kuat. Aku jarang menangis dan mengeluh. Namun, aku tidak malu untuk menangis.
Karena aku tahu ini pantas untuk aku tangisi.
Mendengar cerita nenek, aku sempat kesal dengan
pemerintah saat ini. mereka tak memperhatikan rakyatnya yang miskin dan
menderita. Seharusnya mereka memperhatikan kehidupan orang pinggiran yang sama
sekali tak tersentuh oleh tangan-tangan sang pemegang kekuasaaan. Sungguh
malang negeri ini. sungguh malang nasib sang nenek. (NJA)
Inilah Rumah Melayu
Written By sahrul alim on Rabu, 06 Juni 2012 | 04.48
Oleh: Imron Gipong*
Istana Maimoon berdiri pada tanggal 26
Agustus 1888, Didirikan oleh seorang Sultan Deli ke 9 dengan nama Sultan
Ma’moen Al Rasyid. Bangunan yang telah berdiri lebih dari 1 abad ini berdiri
kokoh di tengah hiruk pikuk kota Medan.
Asap
motor kendaraan beroda mengisi teriknya udara, hingga kerah baju menjadi basah
akibat kondisi Kota yang mulai padat penduduknya. Ditambah gedung-gedung pencakar langit dengan gaya arsitektur
semi modern hingga yang modern melengakapi hiruk
pikuk kota Medan. Namun terlihat rumah adat yang besar dan panjang di seberang
gedung bertingkat (perpustakaan daerah-red),
dengan pagar panjang membentengi rumah besar itu. Terlihat dari trotoar rumah
perpaduan warna hijaunya halaman dan kuning rumah ditengah lalu lalang kereta dan montor. Ketika mulai melangkah dengan pakaian hitam dan kaki yang
juga nampaknya akan sama, tak sengaja membaca tulisan “Istana Maimoon” pada
papan yang terletak di bagian atas pagar besi pintu masuk rumah.
Petugas
dengan pakaian putih dan biru gelap mengawasi langkah saya menuju ke rumah
besar dan panjang dengan mata yang curiga. Namun tetap kuteruskan langkah
hingga tiba di depan rumah walau setengah lengan tangan terasa gosong, karena
semakin penasaran kupandangi kedua tiang di depan rumah. Terdapat tulisan
berbahasa Arab warna hitam di batu yang berbentuk prasasti dengan cat putih di tiang sebelah kiri, ketika kupandangi
tiang sebaliknya yang berada di sebelah kanan terdapat tulisan latin “Istana Maimoon 26 Agustus 1888”.
Semakin
penasaran ku tapaki anak tangga yang berjumlah puluhan satu demi satu dengan
kaki beralaskan sandal, hingga kulepaskan sandal itu di anak tangga paling
tinggi lalu kemudian masuk ke sebuah ruangan depan bersama pengunjung yang
berjumlah puluhan. Di sebelah kanan pintu masuk ruang depan Istana terdapat
meja dengan seorang perempuan, para pengunjung yang berjumlah puluhan bergerak
menuju kesana. Ternyata di meja itu tempat pembayaran retribusi masuk Istana
Maimoon yang dikelola oleh Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid, “untuk tiket masuk
Istana harganya 3 ribu” ucap perempuan itu di kursinya.
Ketika
ku coba memandangi keseluruhan ruang depan, terlihat foto wajah seseorang
didinding kuning sebelah kiri ketika kudekati, terdapat tulisan Yang Mulia Tuanku Sulthan Maimoen Al-Rasyid
Perkasa Alamsyah, lahir Senin 13 Zulkaidah 1271 H (1853 M), diangkat menjadi
Sulthan 4 Jumaidil Akhir 1291 H (1873 M), Mangkat pada hari selasa 9 September
1924 di bawah wajah foto tersebut. Semakin bingung saya ketika melihat foto
tersebut, dan timbul pertanyaan apakah wajah di foto tersebut adalah orang yang
mendirikan Istana ini hingga terpajang di ruang depan rumah besar dan panjang
yang membuat penasaran saya.
Masuk
ruang berikutnya terlihat seseorang berdagang buku dikelilingi oleh belasan pengunjung,
kemudian coba kudekati kerumunan itu. Pedagang tersebut bernama Azri sekaligus
sebagai pekerja di dalam Istana Maimoon, sesembari menawarkan buku-buku yang
dijualnya Azri juga menceritakan sejarah panjang Istana yang kuanggap Rumah
Besar ini sehingga di kelilingi oleh puluhan pengunjung yang datang. Azri
mengatakan bahwa Istana ini didirikan tanggal 26 Agustus 1888 oleh seorang
Sultan Deli ke 9 dengan nama Sultan Ma’moen Al Rasyid. “foto Sultan Ma’moen Al
Rasyid bisa dilihat di ruang depan pintu masuk”, tambahnya sesembari menunjuk
ke ruang sebelumnya yang saya masuki. Rasa penasaranku sedikit menghilang
ketika mengerti siapa foto yang sebelumnya saya perhatikan adalah seorang
pendiri Istana yang terletak di pusat kota Medan.
Kupandangi
sekitar ruang yang penuh dengan ornamen dinding dan interior bangunan yang
masih klasik di masa kini sembari mendengarkan Bang Azri bercerita, “Inilah Rumah Melayu” katanya dengan penekanan
suara yang tinggi. Memang terlihat di Ruang Tengah penuh dengan seni baik dari
Eropa dan Timur Tengah bercampur dengan kekhasan Rumah Melayu yang
memaksimalkan kayu sebagai tiang Rumah. Terdapat pula Singgasana Sulthan di
sebelah kanan dari arah pintu masuk ke ruang tersebut, serta 2 Kaca Besar dan
beberapa tokoh-tokoh Istana yang terpajang di dinding ruang. “ornament Istana
ini berasal dari Melayu, Timur Tengah, dan Eropa”, kata Azri di tempat duduk
berjualannya. Bangunan ini juga masih memiliki nilai estetika dari Belanda,
walaupun Ornamen-ornamen yang terlihat disini kebanyakan Melayu Baik Riau,
Bengkulu, bahkan Malaysia lanjut Azri bercerita kepada pengunjung.
Kekhasan
Istana juga terlihat dari dinding dan interior ruangan yang berwarna kuning.
Seperti yang diungkapkan oleh Azri, “mungkin Melayu identik dengan warna
kuning, sehingga interior ruangan disini juga kebanyakan berwarna kuning” jelasnya.(*)