Tapi pernahkan kalian merasakan masa-masa indah ketika
sedang duduk di bangku perkuliahan. Jawabannya tentu relatif. Ada yang
merasakan masa-masa indah ketika sedang berkumpul dengan teman-teman kuliah,
ada yang menikmati ketika mereka berhasil memacari salah satu dari teman
kuliahnya, ada yang baru menikmati ketika mereka memakai toga dan berhasil
menyematkan sebuah gelar di belakang
nama mereka, dan untuk aku, kunikmati masa-masa indah kuliah ketika aku
KKN (Kuliah Kerja Nyata) bukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. .
Yahh, aku sudah memasuki semester tujuh, artinya waktunya
untuk KKN. Meskipun awalnya aku ragu untuk KKN karena melihat kesibukanku di
sebuah lembaga kemahasiswaan tetapi pada akhirnya karena bujukan temanku, aku
pun jadi berangkat. Namun, di balik itu,
jauh-jauh sebelumnya aku selalu memikirkan tentang KKN, memikirkan masa-masa
indah ketika harus mengabdi di tengah-tengah masyarakat. Aku selalu menanti
datangnya momen itu.
Semua berawal ketika aku masih kecil dulu, ketika aku masih
duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu rumahku menjadi posko KKN salah satu universitas swasta yang
ada di kota Makassar. Selama dua bulan mereka menjadi “keluarga sesaatku”, dan
begitu banyak kisah yang mereka tinggalkan baik itu untukku, keluargaku, maupun
untuk masyarakat desaku. Pikirku, mereka itu orang-orang yang luar biasa, mampu
menjadi pemimpin dikala masyarakat tak mampu lagi untuk berpikir kreatif dan
mengalami krisis kepercayaan. Mereka benar-benar orang yang luar biasa
sampai-sampai kami harus meneteskan air mata ketika harus berpisah dengan
mereka.
Meskipun saat ini KKN di mata sebagian masyarakat tak lagi
seperti yang dulu. Menurut mereka KKN hanyalah sebatas formalitas belaka untuk
menyelesaikan studi. Mahasiswa KKN hanya dianggap menumpang dan merepotkan
warga. Namun kubuang jauh-jauh ketakutan itu. Aku tetap yakin KKN yang sekarang
masih sama seperti KKN yang dulu. Mahasiswa KKN adalah orang-orang yang masih
siap menyumbangkan buah pikir mereka untuk kemajuan masyarakat.
Sejak saat KKN berposko di rumahku, bayangan KKN telah
membekas dalam pikiranku hingga sekarang, belasan tahun kemudian. Kini tibalah saatnya aku yang harus melaksanakan
sebuah tugas yang menurut sebagian orang adalah tugas yang cukup mulia. Yahh.. Kini
waktuku untuk mengabdi di tengah –tengah masyarakat.
Selama dua bulan akan kuabdikan diriku di sebuah desa kecil.
Sebuah desa yang masih butuh perhatian dari para pemikir yang ingin melihat
sebuah kemajuan. Mungkin karena jodoh, akhirnya aku ditempatkan di sebuah desa
kecil di sebuah pesisir pantai kabupaten Barru. Meskipun awalnya aku sempat
terkatung-katung lantaran poskoku yang berpindah karena sebuah kebijakan yang
menurutku sangat tidak rasional.
Awalnya begitu berat ketika baru tiba di lokasi. Tentu saja
adaptasi dengan lingkungan dan warga sekitar menjadi tugas berat yang harus aku
lalui. Namun tak butuh waktu lama bagiku untuk menuntaskan masalah itu,
kesamaan kultur dan bahasa dengan daerah asalku sedikit banyak mampu menolongku
dalam proses adaptasi. Maklum saja, daerah asalku merupakan tetangga dari
kabupaten Barru, yahh kabupaten yang sering dijuluki kota kalong, Soppeng.
Poskoku sendiri tidak lebih baik dari rumahku di daerah
kelahiranku sana. Sederhana dan tak banyak perabot-perabot mewah yang ada di
dalamnya. Namun satu yang pasti, ada
sebuah keluarga kecil yang begitu hangat menerima kami. sekilas mereka keluarga
yang sangat bahagia. Sepasang suami istri dengan seorang anak lelaki kecil yang sangat imut
dan begitu aktif. Lokasinya pun sangat strategis, berada tepat di hadapan
sebuah dermaga yang belum rampung pembangunannya. Menurut warga sekitar tempat
ini sangat ramai menjelang terbenam sang fajar. Dan benar saja, ketika matahari
mulai condong ke barat, para remaja tampak memenuhi “dermaga cinta” ini. Mereka
berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru, datang secara berkelompok
untuk sekadar bersantai dan melihat sunset.
Puluhan warga sudah tampak berlalu-lalang di sekitaran
poskoku. Kutarik nafas dalam-dalam, kuarahkan pandanganku jauh ke tengah laut
sana sambil sesekali melirik kapal-kapal nelayan yang tampaknya akan memulai
petualangan mereka di tangah laut, kurasakan semilir angin sore menerpa wajahku
disertai suara-suara kapal nelayan yang menderu di tengah lautan. Dengan sebuah
senyuman, kuyakinkan dalam hatiku, aku akan bahagia disini dan tak akan pernah
ada penyesalan yang menghampiriku, aku yakin itu. Akan kuhabiskan waktu singkat bersama warga
untuk membangun sebuah semangat kecil yang terpisah-pisah. Akan kusatukan
mereka hingga akhirnya mereka menangis terharu ketika aku harus meninggalkan
desa ini.
(part 1)
FAHRIZAL SYAM
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !