“PETA KEHIDUPAN” - Kisah Kami
Headlines News :
Home » » “PETA KEHIDUPAN”

“PETA KEHIDUPAN”

Written By sahrul alim on Sabtu, 09 Juni 2012 | 01.25

Oleh: Utami Fadilah/ LPM Kreatif Unimed*

Hiruk pikuk suara klakson mobil dan kereta (sebutan motor untuk orang medan) mengawali perjalanan kami hari ini.
“dek poto dulu kami”, kata seorang bapak yang kami lewati
“iya pak mau foto-foto yah!” seraya mengambil kamera dan ingin mengabadikan paras-paras itu.
“senyum yah pak”. “lah ngadep kesinilah pak, katanya mau difoto”
Mereka memalingkan wajahnya sambil tersenyum-senyum, “ah adek ini, betulan rupanya”
Tapi aku tak peduli bagaimana tingkahnya, aku tetap saja menekan panelku dan mengabadikan moment itu. Setelah selesai aku tersenyum dan pergi.

Sambil terus berjalan, seorang bapak mengatakan pada kami
“jangan orang itu yang kalian foto, yang tidur-tidur itu lah yang di foto, sambil menunjuk teman-temannya sesama supir bentor (panggilan tukang becak bermotor di kota medan) di pinggiran toko yang tutup di stasiun hari jumat ini. Tapi aku enggan dan tak tega melihat mereka bergelimpangan dan tidur telanjang perut (kondisi mengangkat kaos sampai ke dada)nya.

Aku terus berjalan, teman-temanku yang lain berpencar dan saling mencari narasumber untuk tulisan yang akan dikumpul malam nanti. Teman ku jane yang berjalan disebelahku ribut ingin naik kereta api dan berfoto di relnya. Benar saja dia begitu di Makassar tak ada kereta api.

Izin kami masuk ke stasiun masih di pending, atasannya masih menge-cek lokasi renovasi di ujung stasiun. Stasiun yang terletak di depan lapangan merdeka itu adalah salah satu peninggalan bangunan bersejarah kota medan yang masih digunakan hingga sekarang dan sedang mengalami renovasi saat ku datangi.

Medan adalah kota yang cukup tua. Umurnya genap 442 tahun dan akan diperingati pada tanggal 1 juli 2012 nanti. Medan dalam bahasa melayu berarti tanah lapang yang luas dijadikan kota oleh seorang kebangsaan belanda bernama Jacob Ninheis yang merupakan pengusaha tembakau yang kaya. Batak karo adalah suku pertama yang ada di kota Medan, dibawa oleh patimpus yang bermarga sembiring.
  
“fotolah abang dek”.
seorang bapak berparas tambun dan mengenakan jaket parasut orange yang menyelimuti kulit sawo matang nya memanggilku. Dia adalah bagian dari puluhan rentetan bentor yang menunggu penumpang di depan stasiun kereta api. Dia duduk diatas becak yang biasa menemaninya narik.

“iya bang, tak fotolah yah bang yah”.
Aku langsung membidik dan mengambil pose-posenya. Dia langsung berpose dan bergaya diatas becaknya dengan mengangkat jempol  ke kamera gayanya seperti seorang wakil walikota yang akan dipilih oleh rakyatnya. Daripada suntuk abang ini mending minta di foto, mungkin ini bisa menghilangkan penat dan panasnya menunggu penumpang pikirku. Pak Edi adalah seorang warga medan-tembung yang narik becak di wilayah stasiun kereta api. Hampir 2 tahun sudah ia menjalani profesi ini. Aku tak menanyainya pekerjaan apa yang digelutinya sebelum ini. Tapi terlihat dari parasnya dan paras teman-temannya, sepertinya harini ini mereka sepi penumpang.

Persaingan di kota kota memang tak mudah. Berbagai kebutuhan, persaingan dan tantangan menjadi satu dalam menjalani kehidupan. Barisan-barisan panjang bentor menghiasi jalan depan gerbang stasiun kereta api medan. Didepannya rentetan toko toko buku yang menjual berbagai buku bekas dan baru yang biasa disebut dengan titi gantung. Dulunya mereka berjualan di titi gantung tapi sejak pemekaran dan pertumbuhan kota, mereka dialihkan dan dipindahkan dilapangan merdeka. Tapi sampai sekarang nama titi gantung itu tak lepas dari panggilan mereka.

“Bang apa kabar?”, sapa ku pada seorang langganan buku di tigan (titigantung)
“saya mau cari buku metopel (metode penelitian) kualitatif  bang, ada?”, aku melanjutkan
“kek ginilah baik-baik aja”, oh adalah, buku apa?, “metopel kualitatif, bentar yah”.
Dia bergegas pergi dari tokonya dan pergi mencari buku yang aku maksud.
Aku menunggunya di toko bersama istrinya yang bernama Anna.
“ibu berapa lama udah jualan?’’.
“udah lama lah dek, sekitar 5 tahun udah”.
“dari dulu udah disini?’’
“enggak, dulu yang di titi gantung sana”. Sambil mengarahkan matanya kedepan arah titi gantung yang tepat ada di seberang jalan.
“alah dek, jualan kaya gini sikitnya untungnya”. Sambil mengamati sekeliling tokonya.
“kadang-kadang seribu, duaribu”.
“kalo buku anak sekolahlah baru agak banyak, lima ribu”
“apa bu suka dukanya jualan disini?’’.
“saingannya banyak …”
“kadang manggil pembeli terus kalo udah mau dibeli gak jadi dipanggil-panggil toko sebelah, sedih dek jualan kek gitu”.
“kami buka toko jam delapan sampe jam Sembilan, kadang cuma dapat 5ribu, malah pernah gak dapat sama sekali”.

Bu Anna adalah seorang wanita berumur 40-an tahun , dan berbaju kuning yang setia menunggu suaminya berjualan dan merelakan waktunya untuk menjaga toko.
“kadang kita kan jualan, tapi bisa gak dapat hasil sama yang kita gaji”. Yah daripada curiga sama orang mending kita yang jaga sendiri yah kan?’’.

“iya yah bu”.

Saya terkesan dengan keteguhan orang untuk bertahan hidup. Rentetan bentor  yang tersusun , kereta api yang menunggu penumpang, barisan toko-toko buku, bangunan besar, kantor-kantor yang berjejer, bank, hotel-hotel indah, restoran, rumah makan, tempat  parkir, taman bahkan kandang burung adalah bukti perjuangan orang untuk  menyambung kehidupannya, pekerjaan dan usaha tak lagi lebih dari sekedar kesenangan tapi juga kesedihan yang terperih.

Susahnya mendapat kerja di kantor-kantor besar itu, susahnya  mendapat pelanggan, menunggu antrean, mengisi kesenangan ditaman kota, melihat burung-burung yang melintas di atas lapangan dan taman, pekerja parkir, pekerja restoran, pekerja kantoran, dan semuanya adalah bukti peradaban yang akan terus berlanjut hingga akhir jaman. Segala yang dilakukan di dunia demi melanjutkan hidup dan segala amal yang akan mengantarkan kehidupan setelahnya menjadi peta kehidupan yang diukir oleh setiap orang.
Dan aku terus berjalan membuat petaku sendiri.(*)

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Facebook | Sahrul Arul | Almamater
Copyright © 2011. Kisah Kami - All Rights Reserved
Template Created by Sahrul Arul Published by Almamater
Proudly powered by Blogger