Oleh: Utami Fadilah/ LPM Kreatif Unimed*
Hiruk pikuk suara klakson mobil dan kereta (sebutan
motor untuk orang medan) mengawali perjalanan kami hari ini.
“dek poto dulu kami”, kata seorang bapak yang kami
lewati
“iya pak mau foto-foto yah!” seraya mengambil kamera
dan ingin mengabadikan paras-paras itu.
“senyum yah pak”. “lah ngadep kesinilah pak, katanya
mau difoto”
Mereka memalingkan wajahnya sambil tersenyum-senyum,
“ah adek ini, betulan rupanya”
Tapi aku tak peduli bagaimana tingkahnya, aku tetap
saja menekan panelku dan mengabadikan moment itu. Setelah selesai aku tersenyum
dan pergi.
Sambil terus berjalan, seorang bapak mengatakan pada
kami
“jangan orang itu yang kalian foto, yang tidur-tidur
itu lah yang di foto, sambil menunjuk teman-temannya sesama supir bentor (panggilan
tukang becak bermotor di kota medan) di pinggiran toko yang tutup di stasiun
hari jumat ini. Tapi aku enggan dan tak tega melihat mereka bergelimpangan dan
tidur telanjang perut (kondisi mengangkat kaos sampai ke dada)nya.
Aku terus berjalan, teman-temanku yang lain berpencar
dan saling mencari narasumber untuk tulisan yang akan dikumpul malam nanti.
Teman ku jane yang berjalan disebelahku ribut ingin naik kereta api dan berfoto
di relnya. Benar saja dia begitu di Makassar tak ada kereta api.
Izin kami masuk ke stasiun masih di pending, atasannya masih menge-cek lokasi renovasi di ujung stasiun. Stasiun yang terletak di depan lapangan
merdeka itu adalah salah satu peninggalan bangunan bersejarah kota medan yang
masih digunakan hingga sekarang dan sedang mengalami renovasi saat ku datangi.
Medan adalah kota yang cukup tua. Umurnya genap 442
tahun dan akan diperingati pada tanggal 1 juli 2012 nanti. Medan dalam bahasa
melayu berarti tanah lapang yang luas dijadikan kota oleh seorang kebangsaan
belanda bernama Jacob Ninheis yang merupakan pengusaha tembakau yang kaya.
Batak karo adalah suku pertama yang ada di kota Medan, dibawa oleh patimpus
yang bermarga sembiring.
“fotolah abang dek”.
seorang bapak berparas tambun dan mengenakan jaket
parasut orange yang menyelimuti kulit sawo matang nya memanggilku. Dia adalah
bagian dari puluhan rentetan bentor yang menunggu penumpang di depan stasiun
kereta api. Dia duduk diatas becak yang biasa menemaninya narik.
“iya bang, tak fotolah yah bang yah”.
Aku langsung membidik dan mengambil pose-posenya. Dia
langsung berpose dan bergaya diatas becaknya dengan mengangkat jempol ke kamera gayanya seperti seorang wakil
walikota yang akan dipilih oleh rakyatnya. Daripada suntuk abang ini mending minta
di foto, mungkin ini bisa menghilangkan penat dan panasnya menunggu penumpang
pikirku. Pak Edi adalah seorang warga medan-tembung yang narik becak di wilayah
stasiun kereta api. Hampir 2 tahun sudah ia menjalani profesi ini. Aku tak
menanyainya pekerjaan apa yang digelutinya sebelum ini. Tapi terlihat dari
parasnya dan paras teman-temannya, sepertinya harini ini mereka sepi penumpang.
Persaingan di kota kota memang tak mudah. Berbagai
kebutuhan, persaingan dan tantangan menjadi satu dalam menjalani kehidupan.
Barisan-barisan panjang bentor menghiasi jalan depan gerbang stasiun kereta api
medan. Didepannya rentetan toko toko buku yang menjual berbagai buku bekas dan
baru yang biasa disebut dengan titi gantung. Dulunya mereka berjualan di titi
gantung tapi sejak pemekaran dan pertumbuhan kota, mereka dialihkan dan
dipindahkan dilapangan merdeka. Tapi sampai sekarang nama titi gantung itu tak
lepas dari panggilan mereka.
“Bang apa kabar?”, sapa ku pada seorang langganan
buku di tigan (titigantung)
“saya mau cari buku metopel (metode penelitian)
kualitatif bang, ada?”, aku melanjutkan
“kek ginilah baik-baik aja”, oh adalah, buku apa?,
“metopel kualitatif, bentar yah”.
Dia bergegas pergi dari tokonya dan pergi mencari
buku yang aku maksud.
Aku menunggunya di toko bersama istrinya yang bernama
Anna.
“ibu berapa lama udah jualan?’’.
“udah lama lah dek, sekitar 5 tahun udah”.
“dari dulu udah disini?’’
“enggak, dulu yang di titi gantung sana”. Sambil
mengarahkan matanya kedepan arah titi gantung yang tepat ada di seberang jalan.
“alah dek, jualan kaya gini sikitnya untungnya”.
Sambil mengamati sekeliling tokonya.
“kadang-kadang seribu, duaribu”.
“kalo buku anak sekolahlah baru agak banyak, lima
ribu”
“apa bu suka dukanya jualan disini?’’.
“saingannya banyak …”
“kadang manggil pembeli terus kalo udah mau dibeli
gak jadi dipanggil-panggil toko sebelah, sedih dek jualan kek gitu”.
“kami buka toko jam delapan sampe jam Sembilan,
kadang cuma dapat 5ribu, malah pernah gak dapat sama sekali”.
Bu Anna adalah seorang wanita berumur 40-an tahun ,
dan berbaju kuning yang setia menunggu suaminya berjualan dan merelakan
waktunya untuk menjaga toko.
“kadang kita kan jualan, tapi bisa gak dapat hasil
sama yang kita gaji”. Yah daripada curiga sama orang mending kita yang jaga
sendiri yah kan?’’.
“iya yah bu”.
Saya terkesan dengan keteguhan orang untuk bertahan
hidup. Rentetan bentor yang tersusun ,
kereta api yang menunggu penumpang, barisan toko-toko buku, bangunan besar,
kantor-kantor yang berjejer, bank, hotel-hotel indah, restoran, rumah makan,
tempat parkir, taman bahkan kandang
burung adalah bukti perjuangan orang untuk
menyambung kehidupannya, pekerjaan dan usaha tak lagi lebih dari sekedar
kesenangan tapi juga kesedihan yang terperih.
Susahnya mendapat kerja di kantor-kantor besar itu,
susahnya mendapat pelanggan, menunggu
antrean, mengisi kesenangan ditaman kota, melihat burung-burung yang melintas
di atas lapangan dan taman, pekerja parkir, pekerja restoran, pekerja kantoran,
dan semuanya adalah bukti peradaban yang akan terus berlanjut hingga akhir
jaman. Segala yang dilakukan di dunia demi melanjutkan hidup dan segala amal
yang akan mengantarkan kehidupan setelahnya menjadi peta kehidupan yang diukir
oleh setiap orang.
Dan aku terus berjalan membuat petaku sendiri.(*)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !