Nek, Kau Buatku Menangis - Kisah Kami
Headlines News :
Home » » Nek, Kau Buatku Menangis

Nek, Kau Buatku Menangis

Written By Unknown on Kamis, 07 Juni 2012 | 19.32



Oleh: Nurjanna Jamaluddin (LPPM Profesi UNM)

Wajahnya tak lagi sebening dulu. Garis-garis kerutan membalut tubuhnya yang kering. Tulang-tulangnya yang keropos termakan usia. Rambutnya yang putih kian bertambah. Kian hari kian tak terawat. Teriknya matahari seakan membakar tubuhnya yang tua tentah yang sedang duduk sambil menjulurkan tangannya di atas  jembatan satasiun kereta api kota seribu marga tersebut.

Seorang Wartawan sedang Mewawancarai Pengemis Stasiun Kereta Api
Ribuan kendaraan melintas di depan stasiun kereta api kota Medan. Lalu lintas pun kembali padat. Bangunan-bangunan megah menjulang tinggi bak pencakar langit di sekeliling stasiun. Penumpang mulai memadati stasiun. Kereta-kereta api mulai berjejeran. Di tengah keramaian itu, pandanganku tertujuh pada sosok nenek yang sedang duduk di jembatan dekat stasiun tersebut.
Kendaraan yang lalu lalang melewati jembatan, tak membuat sang nenek merasa takut. Dengan sejuta tanda tanya besar di kepalaku. Aku melangkah mendekati sang nenek. Dia tersenyum padaku. Matanya yang sudah termakan usia, masih mampu menatap wajahku yang juga tersenyum padanya. “Nenek, namanya siapa?,” sapaku lembut. “Idah,” jawabnya lemah.
Tetesan keringat mulai membasahi bajunya yang tipis tak berwarna. Kakinya yang terluka dan terbakar oleh panasnya aspal jembatan tak membuatnya terganggu. Saat itu aku memintanya tuk bercerita. Sang nenek pun mencurahkan isi hatinya yang hidup sebatang kara itu.
Di pinggiran jembatan aku mendengarkan curahan hari sang nenek. Panasnya matahari membuatku gerah tapi tidak untuk sang nenenk. Waktu itu, jam masih menunjukkan pukul 11.00 Wib. Dalam ceritanya, nenek mengatakan bahwa dia sudah lama menjalani hidupnya smenjadi seorang pengemis. Keadaanlah yang membuat sang nenek melakukan perbuatan yang hina di mata tuhan ini. “Nenek malu terus menerus mengemis, tapi nenek lapar, nenek ingin makan nak, hanya ini yang bisa nenek lakukan,” ucapnya sambil menangis.
Ketika matahari sudah setinggi badan orang dewasa, sang nenek udah beranjak menuju jembatan dekat stasiun ini. Dengan menempuh waktu kurang lebih 20 menit dari daerah Sunggal, sang nenek memulai aktivitasnya. Nenek yang berdarah Medan sudah mengemis sejak dia ditinggal saudaranya ke negeri Jiran sekitar 18 tahun lalu. Nenek mengaku kesal dengan orang Batak yang telah memberi tumpangan yang justru malah menjadi musuh dalam selimut. Barang-barang dan harta berharga lain yang menjadi milik sang nenek dibawa kabur oleh orang Batak tersebut. Sejak itulah, derita demi derita menjadi sarapan harian nenek yang hidup sebatang kara.
Tapi, nenek tetap berjuang di sisa-sisa waktunya yang menurutnya tidak akan lama lagi. Mengemislah yang membuatnya bertahan hingga saat ini. sang nenek terus menjulurkan tangannya yang lemah sampai maut yang menghentikannya. Ketika sedang ramai, nenek bisa mendapatkan uang yang lumayan untuk makannya beberapa hari. Tapi, kadang kala sang nenek pun tak mendapatkan sepeserpun. Sang nenek tetap bersabar menanti siapa saja yang berbaik hati untuk mengasihaninya. “Nenek sabar nak, nenek ga pernah ngeluh,” ucapnya.
Sering kali sang nenek ditegur oleh polisi setempat. Namun, teguran itu seakan angin lalu baginya. Untungnya, polisi pun mengerti dengan keadaannya. Sang poilisi pun selalu mengingatkan sang nenek untuk menghentikan kegiatan nenek yang mengemis. Tapi, namanya orang tua yang sudah tua rentah, pasti sulit untuk mendengarkan kita.
Dalam penderitaan yang mengisi hidupnya, sang nenek berdoa agar sang ilahi mencabut nyawanya. “Apa, apa, apa salah nenek? Apa nenek salah jika mengemis? Mengapa nenek harus tersiksa? Malaikat maut, Ambillah nyawa saya,” ucap sang nenek sambil menatap langit. Sang nenek memiliki harapan besar, ketika dia meninggal nanti, dia berharap, ada yang bisa menemukan jazadnya dan menguburkannya dengan layak.
Mendengar suaranya yang bergetar, hatiku terasa sesak. Mataku berkaca-kaca. Ku coba untuk menahannya. Aku langsung teringat dengan nenekku yang udah lama meninggal. Aku merindukannya. Di saat aku menjabat tangannya yang kasar, ku ucap salam perpisahan padanya. “Jaga diri nenek ya, maafkan saya jika sudah mengganggu nenek,” ucapku sambil melepas kacamata minusku. Aku pun meninggalkan sang nenek dan menuju ke tempat-tempat. Di perjalannan air mata yang sejak tadi ku tahan, akhirnya mengalir tak terhentikan. Padahal aku sosok yang kuat. Aku jarang menangis dan mengeluh. Namun, aku tidak malu untuk menangis. Karena aku tahu ini pantas untuk aku tangisi.
Mendengar cerita nenek, aku sempat kesal dengan pemerintah saat ini. mereka tak memperhatikan rakyatnya yang miskin dan menderita. Seharusnya mereka memperhatikan kehidupan orang pinggiran yang sama sekali tak tersentuh oleh tangan-tangan sang pemegang kekuasaaan. Sungguh malang negeri ini. sungguh malang nasib sang nenek. (NJA
Share this article :

3 komentar:

  1. pantas memang klo jadi terbaik...

    BalasHapus
  2. .: memilukan nasib sang nenek
    .: smoga harapan beliau bisa terwujud
    "Amin"

    @sang penulis::
    .: I Like U're stile anak muda!! =D
    .: semangat!!
    .: dan sukses slalu kandaa *JJ*

    BalasHapus

 
Support : Facebook | Sahrul Arul | Almamater
Copyright © 2011. Kisah Kami - All Rights Reserved
Template Created by Sahrul Arul Published by Almamater
Proudly powered by Blogger