Oleh:
Nurjanna Jamaluddin (LPPM Profesi UNM)
Wajahnya tak lagi sebening dulu.
Garis-garis kerutan membalut tubuhnya yang kering. Tulang-tulangnya yang
keropos termakan usia. Rambutnya yang putih kian bertambah. Kian hari kian tak
terawat. Teriknya matahari seakan membakar tubuhnya yang tua tentah yang sedang
duduk sambil menjulurkan tangannya di atas
jembatan satasiun kereta api kota seribu marga tersebut.
Seorang Wartawan sedang Mewawancarai Pengemis Stasiun Kereta Api |
Ribuan kendaraan melintas di depan stasiun kereta
api kota Medan. Lalu lintas pun kembali padat. Bangunan-bangunan megah
menjulang tinggi bak pencakar langit di sekeliling stasiun. Penumpang mulai
memadati stasiun. Kereta-kereta api mulai berjejeran. Di tengah keramaian itu,
pandanganku tertujuh pada sosok nenek yang sedang duduk di jembatan dekat
stasiun tersebut.
Kendaraan yang lalu lalang melewati jembatan, tak
membuat sang nenek merasa takut. Dengan sejuta tanda tanya besar di kepalaku.
Aku melangkah mendekati sang nenek. Dia tersenyum padaku. Matanya yang sudah
termakan usia, masih mampu menatap wajahku yang juga tersenyum padanya. “Nenek,
namanya siapa?,” sapaku lembut. “Idah,” jawabnya lemah.
Tetesan keringat mulai membasahi bajunya yang tipis
tak berwarna. Kakinya yang terluka dan terbakar oleh panasnya aspal jembatan
tak membuatnya terganggu. Saat itu aku memintanya tuk bercerita. Sang nenek pun
mencurahkan isi hatinya yang hidup sebatang kara itu.
Di pinggiran jembatan aku mendengarkan curahan hari
sang nenek. Panasnya matahari membuatku gerah tapi tidak untuk sang nenenk.
Waktu itu, jam masih menunjukkan pukul 11.00 Wib. Dalam ceritanya, nenek
mengatakan bahwa dia sudah lama menjalani hidupnya smenjadi seorang pengemis.
Keadaanlah yang membuat sang nenek melakukan perbuatan yang hina di mata tuhan
ini. “Nenek malu terus menerus mengemis, tapi nenek lapar, nenek ingin makan
nak, hanya ini yang bisa nenek lakukan,” ucapnya sambil menangis.
Ketika matahari sudah setinggi badan orang dewasa,
sang nenek udah beranjak menuju jembatan dekat stasiun ini. Dengan menempuh
waktu kurang lebih 20 menit dari daerah Sunggal, sang nenek memulai
aktivitasnya. Nenek yang berdarah Medan sudah mengemis sejak dia ditinggal
saudaranya ke negeri Jiran sekitar 18 tahun lalu. Nenek mengaku kesal dengan
orang Batak yang telah memberi tumpangan yang justru malah menjadi musuh dalam
selimut. Barang-barang dan harta berharga lain yang menjadi milik sang nenek
dibawa kabur oleh orang Batak tersebut. Sejak itulah, derita demi derita
menjadi sarapan harian nenek yang hidup sebatang kara.
Tapi, nenek tetap berjuang di sisa-sisa waktunya
yang menurutnya tidak akan lama lagi. Mengemislah yang membuatnya bertahan
hingga saat ini. sang nenek terus menjulurkan tangannya yang lemah sampai maut
yang menghentikannya. Ketika sedang ramai, nenek bisa mendapatkan uang yang
lumayan untuk makannya beberapa hari. Tapi, kadang kala sang nenek pun tak
mendapatkan sepeserpun. Sang nenek tetap bersabar menanti siapa saja yang
berbaik hati untuk mengasihaninya. “Nenek sabar nak, nenek ga pernah ngeluh,”
ucapnya.
Sering kali sang nenek ditegur oleh polisi setempat.
Namun, teguran itu seakan angin lalu baginya. Untungnya, polisi pun mengerti
dengan keadaannya. Sang poilisi pun selalu mengingatkan sang nenek untuk
menghentikan kegiatan nenek yang mengemis. Tapi, namanya orang tua yang sudah
tua rentah, pasti sulit untuk mendengarkan kita.
Dalam penderitaan yang mengisi hidupnya, sang nenek
berdoa agar sang ilahi mencabut nyawanya. “Apa, apa, apa salah nenek? Apa nenek
salah jika mengemis? Mengapa nenek harus tersiksa? Malaikat maut, Ambillah
nyawa saya,” ucap sang nenek sambil menatap langit. Sang nenek memiliki harapan
besar, ketika dia meninggal nanti, dia berharap, ada yang bisa menemukan
jazadnya dan menguburkannya dengan layak.
Mendengar suaranya yang bergetar, hatiku terasa
sesak. Mataku berkaca-kaca. Ku coba untuk menahannya. Aku langsung teringat
dengan nenekku yang udah lama meninggal. Aku merindukannya. Di saat aku
menjabat tangannya yang kasar, ku ucap salam perpisahan padanya. “Jaga diri
nenek ya, maafkan saya jika sudah mengganggu nenek,” ucapku sambil melepas
kacamata minusku. Aku pun meninggalkan sang nenek dan menuju ke tempat-tempat.
Di perjalannan air mata yang sejak tadi ku tahan, akhirnya mengalir tak
terhentikan. Padahal aku sosok yang kuat. Aku jarang menangis dan mengeluh. Namun, aku tidak malu untuk menangis.
Karena aku tahu ini pantas untuk aku tangisi.
Mendengar cerita nenek, aku sempat kesal dengan
pemerintah saat ini. mereka tak memperhatikan rakyatnya yang miskin dan
menderita. Seharusnya mereka memperhatikan kehidupan orang pinggiran yang sama
sekali tak tersentuh oleh tangan-tangan sang pemegang kekuasaaan. Sungguh
malang negeri ini. sungguh malang nasib sang nenek. (NJA)
so sad .....
BalasHapuspantas memang klo jadi terbaik...
BalasHapus.: memilukan nasib sang nenek
BalasHapus.: smoga harapan beliau bisa terwujud
"Amin"
@sang penulis::
.: I Like U're stile anak muda!! =D
.: semangat!!
.: dan sukses slalu kandaa *JJ*